Rabu, 14 November 2007

Beban Berat di SEA Games

Beban Berat di SEA Games
Peta kekuatan tiap-tiap negara sudah terlihat.
Seandainya saja Engkong Goning, R.H. Ibrahim, ataupun Syekh Kumango masih hidup, mungkin mereka akan sedih melihat hasil yang diraih para pesilat Indonesia dalam kejuaraan dunia pencak silat yang berlangsung di Pahang Darul Makmur, Malaysia, yang berakhir Kamis lalu.
Mereka—Goning, Ibrahim, dan Kumango—adalah tiga di antara sekian banyak guru sekaligus pencipta jurus-jurus seni bela diri pencak silat yang terlahir di Tanah Air. Namun, kini pencak silat sebagai salah satu warisan luhur budaya bangsa ternyata sudah tidak seutuhnya milik bangsa ini.
Dulu para pesilat dari Malaysia, Vietnam, Thailand, ataupun negara-negara Eropa berguru di Indonesia untuk memperdalam ilmu seni bela diri ini. Indonesia dianggap sebagai kiblat pencak silat. Indonesia adalah tempat asal lahirnya pencak silat. Karena itu, mereka berbondong-bondong berilmu di sini.
Tujuh tahun lalu, para pesilat Indonesia masih mampu menunjukkan siapa guru dan siapa murid. Kala itu, dalam kejuaraan dunia di Jakarta, para pesilat Indonesia berhasil melakukan sapu bersih dengan merebut 14 medali emas dan dua perak tanpa perunggu. Para pesilat Indonesia tak terkalahkan.
Sayangnya, itulah terakhir kali mereka berjaya. Setelah itu, prestasi para pesilat Indonesia terus merosot. Dalam kejuaraan dunia 2002, giliran "sang murid" Vietnam yang mulai unjuk gigi. Mereka tampil sebagai juara umum dengan mengoleksi 10 medali emas. Indonesia di peringkat kedua.
Setelah itu, para pesilat Vietnam seolah tak tertandingi, bahkan oleh "sang guru". Begitu pula dalam kejuaraan dunia ke-13 di Malaysia lalu, Vietnam mampu mempertahankan dominasi mereka dengan tampil sebagai juara umum. Indonesia hanya berada di urutan keempat dengan peraihan dua medali emas. Jauh dari target 10 emas.
Banyak yang meleset dari prediksi. Baik nomor seni, tunggal, ganda, maupun kelompok putra dan putri biasanya merupakan langganan penyumbang medali emas. Tapi, kini, tak satu pun medali emas mampu mereka rebut. Hanya satu perak dan tiga perunggu yang mereka bawa pulang.
Persiapan yang kurang kerap dituding sebagai biang kegagalan yang dialami para pesilat Indonesia. Bandingkan dengan Vietnam, yang menghabiskan waktu selama dua tahun penuh untuk mempersiapkan diri menghadapi kejuaraan ini. Itu yang selalu mereka lakukan.
Para pesilat Vietnam hanya diberi waktu dua bulan untuk beristirahat pascakejuaraan. Setelah itu, mereka kembali masuk pemusatan latihan. Bandingkan dengan para pesilat Indonesia, yang hanya menghabiskan waktu satu bulan untuk pelatnas. Itu pun dilakukan di bulan Ramadan ketika kondisi fisik para atlet sedang tidak maksimal.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kejuaraan dunia lalu. Pencak silat kini sudah tidak bisa dianggap sebagai olahraga eksklusif milik bangsa ini. Pencak silat telah mendunia dan kekuatan dari negara lain, termasuk Eropa, kian rata.
Sebagai salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di SEA Games 2007 di Nakhon Ratchasima, Thailand, pada Desember mendatang, peta kekuatan tiap-tiap negara sudah terlihat. Kegagalan di Malaysia harus menjadi cambuk bagi para pesilat Indonesia untuk bangkit.
SEA Games adalah momen yang tepat untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah "sang guru" pencak silat. Dan para pesilat Indonesia masih memiliki waktu satu bulan untuk mematangkan diri, terutama dari sisi mental. MUSLIMA HAPSARI

oleh : MUSLIMA HAPSARI Koran Tempo

Tidak ada komentar: